Pertanyaan:
Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku?
Talak menurut Islam sah
apabila suami mengucapkan kata-kata talak. Namun menurut UU Perkawinan
sahnya talak hanya di depan sidang. Nah kita sebagai umat Islam tentunya
harus patuh terhadap hukum Islam, namun di satu sisi kita juga berada
dalam Negara Republik Indonesia. Yang saya tanyakan, hukum manakah yang seharusnya kita ambil sebagai pedoman terkait dengan permasalahan talak di atas?JAWABAN :
Anda benar
bahwa umat Islam tentu harus patuh terhadap atutan-aturan dalam hukum
Islam, termasuk dalam hal talak. Yang dimaksud tentang talak itu sendiri menurut Pasal 117 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Berkaitan
dengan hal yang Anda katakan mengenai sahnya suatu talak hanya di muka
pengadilan, perlu kami luruskan di sini bahwa hal itu bukan diatur dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melainkan diatur dalam Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) yang mengatakan bahwa seorang suami
yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Hal ini kembali ditegaskan dalam Pasal 129 KHI yang berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami di muka Pengadilan Agama.
Lalu bagaimana talak dalam hukum Islam itu? Sayuti Thalibdalam bukunya Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 100) mengatakan bahwa seorang suami diakui menurut hukum, berdasar beberapa hal tertentu berwenang menjatuhkan talak kepada istrinya. Asal hukum talak itu adalah haram. Kemudian, karena ‘illahnya maka hukum talak itu menjadi halal, atau mubah atau kebolehan.
Jika talak diucapkan suami di luar Pengadilan Agama, menurut Nasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia. Akibat dari talak yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum putus secara hukum.
Dari sini
jelas kiranya bahwa umat Islam tunduk pada pengaturan dalam hukum Islam
perihal talak, yang mana hukum tersebut juga diatur dalam KHI. Lalu,
bagaimana kedudukan hukum Islam (KHI) terhadap hukum negara (hukum
positif) dalam hal talak itu? Menjawab pertanyaan Anda, dari sini kita
bisa ketahui bahwa talak yang diatur dalam KHI itu bersumber dari hukum Islam dan pemberlakuan KHI itu sendiri itu ditegaskan berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan KHI (“Inpres 1/1991”).
Masih berkaitan dengan ini, dalam bagian konsiderans Inpres 1/1991 disebutkan bahwa para Alim
Ulama Indonesia dalam Loka Karya yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2
sampai dengan 5 Pebruari 1988 telah menerima baik tiga rancangan buku
Kompilasi Hukum Islam, yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II
tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan sehingga dibuatlah suatu Kompilasi Hukum Islam. Kemudian, KHI
tersebut oleh Instansi Pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya
dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di
bidang perkawinan, kewarisan, maupun perwakafan.
Oleh karena
itu, menurut hemat kami, pengaturan dalam hukum Islam sudah sejalan
dengan pengaturan dalam hukum positif yang mengatur mengenai talak,
yakni pengaturan dalam KHI. Hal ini disebabkan karena KHI itu bersumber
dari hukum Islam. Hanya saja, tidak adanya legalitas berupa bukti
perceraian (dengan tidak dijatuhkannya talak di muka pengadilan) memang
akan berdampak pada permasalahan status perkawinan dan masalah-masalah
hukum lain yang mungkin timbul sehingga umat Islam juga perlu tunduk
pada hukum negara, yakni hukum positif.
Demikian , semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
Sayuti Thalib. 1986. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI-Press: Jakarta.
0 Komentar untuk "Talak Menurut Hukum Islam atau Hukum Negara, Mana yang Berlaku?"