Kita
sering mendengar istilah fidyah, kaffaroh, tebusan ,dam dan yang
semacamnya. namun, secara rinci kita banyak mendapatkan kendala dalam
memahami maksud dan hukum-hukum yang berkaitan dengan istilah-istilah
tersebut
Dalam kesempatan ini kita akan membahas
hal-hal yang berkaitan dengan fidyah; definisi, pembagian, macam-macam,
hukum, dan yang lainnya, khususnya yang berkaitan dengan ibadah puasa.
Ayat yang pertama kali turun berkaitan dengan ibadah puasa di bulan Romadhon adalah firman Alloh Azza wa Jalla:
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (yaitu)
dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada
yang sakit atau dalam perjalanan (lalu kamu berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari
yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika
mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui. “ (QS. al-Baqarah [2]: 183-184)
Kaum muslimin (yang mampu dan yang tidak mampu
sama-sama) diberikan pilihan antara berpuasa atau berbuka dengan fidyah
sebagai gantinya, yaitu memberi makan fakir miskin pada setiap hari yang
ditinggalkan (untuk tidak berpuasa), sebagaimanayang diriwayatkan dalam
sebuah hadits dari Salamah bin al-Akwa’ Rodhiyallohu Anhu bahwa dengan
turunnya ayat:
"…Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu) memberi makan seorang miskin…" (QS. Al-Baqarah [2]: 184)
Maka bagi yang ingin berbuka maka ia membayar fidyah. Hal ini berlangsung hingga turunnya ayat setelahnya:
"…(karena
itu), barangsiapa diantara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu…." ( QS. Al-Baqarah [2]: 185).
Sehingga ayat yang kedua ini me-mansukh
(menghapus hukum) ayat yang sebelumnya untuk orang yang mampu. Adapun
orang yang tidak mampu melakukannya, maka hukumnya tetap berlaku, yakni
berbuka lalu menggantinya dengan fidyah dan tidak mengqodho’nya. (Lihat
Shohih Bukhori no. 1813).
DEFINISI FIDYAH DAN KAFFAROH
Fidyah
secara bahasa berasal dari kata (fada – yafdiy – fidâa –fidyatan) yang
berarti tebusan. Adapun secara istilah adalah sesuatu yang mengganti
kedudukan sesuatu yang lain karena ketidaktahuan, lupa, terpaksa atau
memilih sesuatu yang lebih baik.(1)
Kaffaroh secara bahasa berasal dari kata
(kaffaro – yukaffaru – takfiyrô) yang artinya menutupi atau meliputi.
Sedangkan secara istilah adalah suatu perbuatan yang diwajibkan oleh
pembuat syari’at untuk menghapus dan menutupi suatu dosa, kesalahan,
pembatalan atau pelanggaran tertentu berupa pembebasan budak, puasa,
menyembelih atau memberikan makanan dan yang lainnya.(2)
Dalam penggunaannya, kedua istilah ini sering
dipakai untuk istilah yang lain, yakni terkadang fidyah dipakai dengan
istilah kaffaroh. Adapun kaffaroh digunakan dengan istilah fidyah maka
lebih jarang dipakai.
PEMBAGIAN FIDYAH
Perlu
dipisahkan antara pembahasan fidyah dalam puasa, fidyah dalam haji, dan
fidyah dalam tawanan perang. Karena istilah ini disebutkan dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah dalam tiga pembahasan tersebut.(3)
1. Fidyah Dalam Puasa
Fidyah yang berkaitan dengan ibadah puasa adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"…Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu
ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah
yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui." (QS. al-Baqarah [2]: 184)
2. Fidyah Dalam Ibadah Haji
Fidyah yang berkaitan dengan ibadah haji adalah sebagaimana yang disebutkan dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"Dan
sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umroh karena Alloh. Jika kamu terkepung
(terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) qurban
yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu sebelum qurban
sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit
atau ada gangguan dikepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya
membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berqurban. Apabila
kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ‘umroh
sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) qurban
yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang qurban atau
tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh
hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari)
yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang
yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang
yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Alloh dan
ketahuilah bahwa Alloh sangat keras siksa-Nya. "(QS. al-Baqarah [2]: 196)
dan sebagaimana yang diriwayatkan dalam
sebuah hadits dari Abdulloh bin Ma’qil Rodhiyallohu Anhu, ia berkata,
“Aku duduk menghadap Ka’ab bin Malik Rodhiyallohu Anhu ketika ia berada
di dalam masjid, lalu saya bertanya tentang ayat ini:
…
maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau
berqurban... Maka Ka’ab berkata, “Ayat ini turun tentang diriku. Dahulu
aku memiliki penyakit di kepalaku lalu aku di bawa kepada Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam, yang mana tatkala itu kutu bertebaran di
atas wajahku. Maka beliau bersabda:
“Tidak
pernah aku melihat sebelumnya sebuah beban berat yang menimpa dirimu
seperti yang aku lihat sekarang ini. Apakah engkau memiliki seekor
domba?” Saya menjawab, “Tidak.” Maka turunlah ayat ini:
…
maka wajiblah atasnya membayar fidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau
berqurban...’ Kemudian beliau Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
‘Puasa tiga hari atau memberi makan enam orang miskin, setiap orang setengah sho’ makanan pokok.'
Ka’ab berkata, ‘Ayat ini turun berkaitan dengan diriku secara khusus dan (hukumnya) kalian secara umum.’” (HR. Ahmad: 17413)
3. Fidyah Dalam Tawanan Perang
Fidyah dalam tawanan perang lebih dikenal dengan sebutan fida’, sebagaimana dalam firman Alloh Azza wa Jalla:
"Apabila
kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah
batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka
maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau
menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Alloh
menghendaki niscaya Alloh akan membinasakan mereka tetapi Alloh hendak
menguji sebagian kamu dengan sebagian yang lain. Dan orang-orang yang
mati syahid pada jalan Alloh, Alloh tidak akan menyia-nyiakan amalan
mereka." (QS. Muhammad [47]: 4)
PERBEDAAN FIDYAH DALAM PUASA, HAJI, DAN TAWANAN PERANG
Sebagaimana
telah disebutkan dalam ayat di atas bahwa terdapat perbedaan antara
fidyah dalam puasa dan fidyah dalam haji. Fidyah dalam puasa hanyalah
dengan memberi makan orang miskin saja. Sementara fidyah dalam haji
terdapat tiga pilihan, yaitu: berpuasa tiga hari, memberi makan enam
orang miskin sebanyak setengah sho’ untuk masing-masing orang
(sebagaimana hadits diatas), atau menyembelih seekor kambing. Adapun
fidyah dalam tawanan, maka bisa berupa tawanan, sejumlah harta atau yang
lainnya.
PERBEDAAN ANTARA FIDYAH DENGAN KAFFAROH
Terdapat
beberapa perbedaan antara kaffaroh dengan fidyah dari beberapa sisi, di
antaranya adalah bahwa kaffaroh tidak wajib melainkan karena ada
perbuatan dosa atau pelanggaran yang telah dilakukan, yang mana hal ini
berbeda dengan fidyah. Meskipun terkadang dalam sebagian penggunaan
kedua istilah ini saling terjadi tukar-menukar antara satu dengan yang
lainnya sehingga perlu adanya penyesuaian dalam maknanya.
1. Fidyah Dalam Puasa
Dalam
masalah puasa terdapat perbedaan antara fidyah dengan kaffaroh, yakni
bahwasanya makna fidyah adalah sebagimana yang terdapat dalam firman
Alloh Azza wa Jalla:
"Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)
membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang
dengan kerelaan hati mengerjakan kebaikan, maka itulah yang lebih baik
baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. “ (QS. al-Baqarah [2]: 184)
Ayat ini berkaitan dengan orang yang sudah
tua atau orang-orang yang diberi kedudukan dan hukum sama seperti
orang-orang yang tidak mampu berpuasa, maka ia memberikan fidyah dengan
memberi makan orang yang miskin sebanyak hari yang ditinggalkannya.
Hukum ini juga berlaku bagi wanita tua dan orang sakit yang sulit
diharapkan kesembuhannya.
Sebagian ulama ada yang memasukkan hukum ini
bagi para wanita hamil dan menyusui dimana dikhawatirkan anak yang
disusuinya atau janin yang dikandungnya akan tertimpa muadhorot oleh
sebab puasa wanita tersebut. Maka dalam keadaan seperti ini ia
mengqodho’ (puasanya) dan memberikan fidyah kepada orang miskin,
sebagaimana akan dibahas dalam bab yang akan datang.
2. Kaffaroh Dalam Puasa
Adapun kaffaroh dalam puasa adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits:
Dari
Abu Huroiroh Rodhiyallohu Anhu, ia berkata: “Ada seseorang yang datang
kepada Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam lalu ia berkata, “Aku
telah binasa wahai Rasululloh.” Beliau menjawab, “Apa yang menyebabkan
engkau binasa?” Ia berkata, “Aku telah mendatangi istriku (jima’) pada
siang hari bulan Romadhon”. Beliau bertanya, “Apakah engkau mempunyai
seorang budak yang bisa dibebaskan?” Ia menjawab, “Tidak.” Abu Huroiroh
Rodhiyallohu Anhu berkata: “Ia pun duduk, kemudian didatangkan Nabi
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam sebuah wadah besar berisi kurma, lalu
beliau bersabda, “Bersedekahlah dengan ini.” Ia pun berkata, “Apakah
kepada orang yang lebih miskin daripada kami? Tidak ada di antara dua
sisinya (di daerah ini) sebuah keluarga yang lebih membutuhkannya
daripada kami.” Nabi Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tertawa hingga nampak
gigi taring beliau. Lalu beliau bersabda, “Pergilah, dan berikanlah
(kurma ini) kepada keluargamu.” (HR. Bukhori: 1800, Muslim: 1870)
Dalam riwayat Abu Dawud (I/728 no.2393) terdapat tambahan:
Abu
Huroiroh Rodhiyallohu Anhu berkata, “Maka didatangkan kepada beliau
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam sebuah wadah besar yang didalamnya
terdapat kurma kira-kira sebanyak lima belas sho’, kemudian beliau
bersabda kepadanya, “Makanlah beserta keluargamu, berpuasalah satu hari
dan beristigfarlah kepada Alloh.”(4)
Hal ini
menunjukkan bahwa selain kaffaroh, ia juga harus mengqodho’ puasa yang
batal dengan jima’ dan bertaubat dari perbuatan dosanya.
Hadits ini juga menunjukkan bahwa kaffaroh
puasa ini harus dilakukan sesuai urutan yang ada dalam hadits), yaitu
yang pertama kali diusahakan adalah membebaskan budak, jika tidak
memilikinya maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu
maka memberikan makan kepada enam puluh orang miskin.(5)
Adapun
kadar kaffaroh dengan memberi makan orang miskin dalam hal ini adalah
sebanyak satu mud per satu orang miskin atau 15 sho’ untuk 60 orang
miskin, sebagaimana disebutkan dalam riwayat hadits diatas.
- Bagaimana dengan orang yang tidak mampu membayar kaffaroh?
Adapun bagi orang yang tidak mampu membayar kaffaroh maka terdapat dua pendapat di kalangan para ulama.
Pendapat pertama mengatakan bahwa kewajiban tersebut telah gugur karena ketidakmampuannya membayar kaffaroh, sedangkan seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Sebagaimana dalam hadits ini Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam justru memberikan shodaqoh kepada sahabat yang mendatangi istrinya di siang hari bulan Romadhon karena ia menyatakan ketidakmampuannya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa ia tetap memiliki hutang dan tanggungan untuk membayarnya ketika ia mampu di kemudian hari, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits ini ketika Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak menggugurkan kewajiban membayar kaffaroh atasnya tatkala ia menyatakan ketidakmampuannya dalam menunaikan kaffaroh.
Hal ini terlihat dari sikap Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam ketika menyuruhnya duduk hingga didatangkan kepada beliau Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam satu wadah besar berisi kurma, lalu memerintahkan kepadanya agar membayar kaffaroh yang menjadi tanggungannya itu dengan kurma tersebut.
Seandainya membayar kaffaroh tersebut gugur karena ketidakmampuan, tentunya Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak akan menyuruhnya membayar dan menunaikannya kepada orang-orang miskin. Namun kenyataannya, dalam hadits ini Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam justru memerintahkan kepadanya untuk membayarkan kurma tersebut sebagai kaffaroh baginya. Hal ini sekaligus sebagai dalil bahwa seseorang bisa membayarkan kaffaroh yang menjadi tanggungan orang lain.
Pendapat ini di nukil dari al-Imam asy-Syafi’i dalam salah satu riwayat dari dua pendapat beliau, dan inilah yang dirojihkan aleh al-Imam an-Nawawi Rahimahulloh.(6)
- Bagaimana dengan istri yang diajak berjima’, apakah juga wajib membayar kaffaroh?
Jumhur berpendapat bahwa istri juga wajib membayar kaffaroh, dengan dasar bahwa Nabi Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada istri karena hanya suaminya yang mengaku, sehingga tidak terkena hukum, sebagaimana dalam masalah zina; atau karena ada kemungkinan istrinya tidak sedang berpuasa karena bersihnya dia dari haid atau nifas baru setelah terbit fajar, atau karena kefakirannya; atau karena kemungkinan yang lain.
Pendapat kedua mengatakan akan tidak wajibnya kaffaroh bagi wanita karena dalam hadits ini terdapat dalil bahwa kaffaroh tersebut hanya wajib bagi laki-laki saja, karena Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada sahabat tersebut untuk membayarkan kaffaroh istrinya. Seandainya kaffaroh wajib bagi istrinya juga, tentu tidaklah patut bagi Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengakhirkan penjelasan pada saat dibutuhkan dan pada saat terdapat beberapa kemungkinan pada sebuah perkara, sebagaimana dalam hadits ini. Demikian pula tidak dinukil dari sahabat yang mengamalkan kaffroh bagi wanita yang dijima’i.
Pendapat ini di nukil dari salah satu pendapat yang paling shohih dari al-Imam asy-Syafi’i dan juga pendapat al-Auza’i. Dan inilah pendapat yang lebih rojih (kuat), Insya Alloh.
- Bagaimana kewajiban fidyah dan kaffaroh berkaitan dengan puasa selain Romadhon?
Yang perlu diketahui adalah bahwa kaffaroh ini hanya untuk puasa Romadhon saja, bukan untuk puasa yang lain, seperti puasa qodho’, puasa nadzar, puasa kaffaroh, dan puasa nafilah (sunnah).
Adapun puasa selain Romadhon maka tidak ada kaffarohnya, tetapi hanya wajib menqodho’nya saja. Dan ini adalah pendapat jumhur fuqoha’ (kebanyakan ahli fiqih), sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi Rohimahulloh dalam al-Mughni 3/138.
WANITA HAMIL DAN MENYUSUI
Terdapat
perbedaan pendapat yang sangat kuat di antara para ulama tentang
masalah ini. Berikut ini kami paparkan beberapa pendapat yang kuat di
kalangan para ulama tersebut:
- Keduanya wajib membayar fidyah saja dan tidak mengqodho’. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu dan Ibnu Umar Rodhiyallohu Anhu.
- Keduanya wajib mengqhodo’ saja dan tidak ada kewajiban membayar fidyah. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, ‘Atho, Ibrohim an-Nakho’i. az-Zuhri, adh-Dhohak, al-Auza’I, Robi’ah, dan Sufyan ats-Tsauri. Dan inilah juga pendapat Abu Hanifah dan Hanafiyyah, al-Laits bin Sa’ad dan ath-Thobari, Abu Tsaur. Abu ‘Ubaid dan yang lainnya serta pendapat Malikiyyah.
- Keduanya wajib menqhodo’ dan sekaligus membayar fidyah. Ini adalah pendapat Mujahid dan al-Imam asy-Syafi’I dalam salah satu pendapat beliau, dan al-Imam Ahmad.
- Wajib bagi wanita yang menyusui untuk mengqhodo’ dan membayar fidyah. Adapun wanita yang hamil hanya mengqodho’ saja. Ini adalah pendapat al-Imam Malik dan salah satu pendapat al-Imam asy-Syafi’I yang lain.
- Keduanya memilih antara qodho dan fidyah, jika mengqodho’ maka fidyah gugur baginya dan jika ia membayar fidyah maka tidak mengqodho’nya. Pendapat ini dinukil dari Ishaq bin Rohawaih.
Secara qiyas (penyerupaan hukum) pendapat
kedua memiliki kekuatan lebih, dimana mereka merojihkan pendapat ini
(bahwa wanita hamil dan menyusui hanya wajib mengqodho’ saja dan tidak
membayar fidyah) karena penyerupaan wanita hamil dan menyusui lebih
dekat kepada orang sakit yang mungkin diharapkan kesembuhannya atau
musafir, bukan kepada orang yang sudah tua yang mana tidak mampu lagi
untuk melaksanakan puasa.
Selain itu mereka berdalil dengan hadits:
Dari
Anas bin Malik(7) Rodhiyallohu Anhu bahwa seseorang dari Bani Abdulloh
bin Ka’ab berkata: “Pasukan berkuda Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa
Sallam telah mendatangi kami dengan tiba-tiba. Maka saya pun mendatangi
Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam dan saya mendapati beliau
sedang makan siang, lalu beliau bersabda, “Kemarilah dan makanlah”, saya
menjawab, “saya berpuasa”, beliau berkata, “Mendekatlah, aku akan
menceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Alloh Azza wa Jalla
menggugurkan setengah sholat bagi musafir, dan puasa bagi orang yang
hamil dan menyusui”, ”Dan demi Alloh, sungguh Nabi Shallallohu ‘Alaihi
wa Sallam telah berkata keduanya atau salah satu dari keduanya. Duhai
menyesalnya diriku, mengapa aku tidak merasakan makanan Nabi Shallallohu
‘Alaihi wa Sallam.” (HR. Tirmidzi: 649, Ibnu Majah: 1657, Ahmad: 18270,
al-Albani Rohimahulloh mengatakan: hasan shohih. Lihat Shohih Sunan
Tirmidzi: 715 dan Shohih Sunan Ibnu Majah: 1667)
Namun hadits ini tidaklah shorih (tegas)
dalam menafikan (meniadakan hukum) fidyah dari wanita hamil dan menyusui
ataupun keharusan untuk menqodho’nya. Dan pendapat (kedua) ini
dirojihkan (dikuatkan) oleh Lajnah Da’imah Lillfta’ Saudi Arabia.(8)
Namun, dilihat dari sisi riwayat, pendapat
pertama adalah pendapat yang paling kuat di antara beberapa pendapat
diatas, karena pendapat ini adalah pendapat yang dinukil dari sahabat
Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu dan Ibnu Umar Rodhiyallohu Anhu, dimana
keduanya menyebutkan pendapat tersebut dalam rangka menjelaskan ayat dan
sebab turunnya ayat.
Maka dari sini dapat dipahami bahwa riwayat
dari keduanya ini bisa dihukumi marfu’ (bisa disandarkan pada Nabi
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam) secara hukum dan bukan hanya sekedar
mauquf (disandarkan pada sahabat) saja. Dan tidak dinukil dari seorang
sahabat pun yang menyelisihi pendapat tersebut, sebagaimana dinukil oleh
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 3/21.
Adapun riwayat dari Ibnu Abbas Rodhiyallohu
Anhu yang diperselisihkan pemahamannya, yaitu tentang penyebutan dua
riwayat dari beliau yang seakan-akan bertentangan, yang mana di satu
riwayat beliau menyatakan ayat fidyah diatas adalah mansukh, dan di
riwayat yang lain beliau menyatakan tidak mansukh: sebenarnya tidaklah
bertentangan, dengan alasan:
- Karena istilah mansukh memiliki dua makna dalam istilah salaf. Dan salah satu maknanya adalah takhshish (pengkhususan) terhadap dalil yang umum atau penjelasan terhadap dalil yang global atau yang semakna dengannya. Dan penggunaan istilah mansukh dengan makna ini banyak dipakai oleh kalangan salaf.
- Karena dalam ayat tersebut Ibnu Abbas Rodhiyallohu Anhu membaca kalimat yuthiyqûnahu (yang mampu melakukan puasa) dengan bacaan yuthoyyaqûnahu yang artinya melakukannya dengan sangat berat. Sehingga hukumnya tetap berlaku bagi mereka dan tidak di mansukh, sebagaimana yang dinukil dari Salamah bin al-Akwa’ Rodhiyallohu Anhu dan Ibnu Umar Rodhiyallohu Anhu.(9)
Kesimpulannya, bahwa madzhab sahabat lebih
didahulukan daripada yang lainnya, walaupun mungkin secara qiyas
pendapat yang lain lebih kuat. Namun, jika tidak dinukil adanya
perbedaan pendapat di kalangan para sahabat maka ini adalah hujjah atas
pendapat selain atau yang datang setelah mereka. Wallohu ‘alam
bishshowaab.
• Kepada siapa fidyah dan kaffaroh itu diberikan?
Berdasarkan
dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah serta apa yang dipahami dan diamalkan
oleh para sahabat, menunjukkan bahwa fidayah dan kaffaroh dalam bentuk
ith’am (memberi makan) adalah diberikan kepada fakir dan miskin saja,
dan bukan kepada yang lain.
Adapun apa yang disebutkan di dalam ayat
fidyah haji yang hanya menyebutkan shodaqoh saja tanpa keterangan kepada
siapa shodaqoh itu diberikan, hal tersebut telah dijelaskan oleh
Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa yang dimaksud dengan
shodaqoh dalam fidyah haji adalah memberi makan kepada enam orang
miskin. Seandainya ada golongan yang lain yang berhak diberi fidyah,
tentu telah dijelaskan oleh Rasululloh Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam dan
juga oleh para sahabatnya.
Demikian pula fidyah yang ditujukan kepada
anak-anak yatim kecuali jika mereka tergolong dalam kategori fakir dan
miskin. Wallohu ‘alam.
Catatan:
1 Mu’jam Lughotil Fuqoha’ 1/341,
2 Mu’jam Lughotil Fuqoha’ 1/382, Lisanul ‘Arob 5/144, an-Nihayah fi Ghoribil Atsar 4/340
3 Mu’jam Lughotil Fuqoha’ 1/341,
4 Tambahan ini dishohihkan oleh al-Imam al-Albani Rohimahulloh dalam Irwa’ul Gholil 4/90-93
5
Ini adalah pendapat yang dirojihkan (dikuatkan) oleh Ibnu Qudamah
Rohimahulloh dalam al-Mughni 3/140 dan asy-syaukani dalam Nailul Author
4/240
6 Syarah Shohih Muslim 3/182-183
7
Bukan Anas bin Malik al-Anshori Rodhiyallohu Anhu, pelayan Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam. Ia hanya meriwayatkan dari Rasululloh
Shallallohu ‘Alaihi wa Sallam satu hadits saja, yaitu hadits ini
8 Fatawa Islamiyyah 1/396
9 Shohih Bukhori kitab at-Tafsir bab Tafsir surat al-Baqarah ayat 184, 4/1637-1638 hadits 4235-4237
Dinukil dari Majalah Keluarga Islami
al-Mawaddah.
0 Komentar untuk "Fidyah Dan Kaffaroh Puasa"