Berbagi Info - Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat
mulia, hanya saja-sebagaimana ibadah-ibadah lainnya-, ia telah tercampur
oleh beberapa ritual bid’ah yang tidak ada dasarnya dalam agama.
Berikut ini kami sampaikan beberapa bid’ah yang biasa dilakukan oleh
kebanyakan manusia. Semoga Alloh menyelamatkan kita darinya. Di
antaranya adalah hal-hal sebagai berikut (1) :
1. Melafadzkan Niat Puasa Di Malam Hari
Tidak
diragukan lagi bahwa niat merupakan syarat sahnya ibadah dengan
kesepakatan ulama.(2) Hanya saja perlu diketahui bahwa niat tempatnya
adalah di dalam hati, barangsiapa yang terlintas di dalam hatinya bahwa
dia besok akan puasa maka sudah berarti dia telah berniat. Adapun
melafadzkan niat puasa di malam hari baik dengan berjamaah maupun
sendiri-sendiri dengan mengucapkan (artinya) :
“Aku berniat puasa besok untuk melaksanakan fardhu puasa Ramadhan pada tahun ini karena Alloh Ta’ala”
Bacaan
ini sangat masyhur di masyarakat kita,bahkan acapa kali di ucapkan
secara berjama’ah di masjid setelah shalat tarawih. Ritual ini tidak ada
asalnya sama sekali dalam kitab-kitab hadits, bahkan termasuk
kebid’ahan dalam agama sekalipun manusia menganggapnya sebagai kebaikan
(3).
Jadi, melafadzkan niat seperti itu tidak ada
contohnya dari Nabi Shalallahu’alaihi wassalam, para sahabat, tabai’in,
tabi’ut tabi’in dan sebagainya, bahkan kata Imam Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi rahimahullah:” Tak seorangpun dari Imam empat, baik Imam
Syafi’I maupun lainnya yang mensyaratkan harus melafadzkan niat, karena
niat itu di dalam hati dengan kesepakatan mereka.” (4) Maka jelaslah
bahwa melafadzkan niat termasuk bid’ah dalam agama.(5)
2. Menetapkan Waktu Imsak
Menetapkan
waktu imsak bagi orang yang makan sahur 5 atau 7 menit menjelang adzan
Subuh dan mengumumkannya melalui pengeras suara ataupun radio adalah
bid’ah dan menyelisihi sunnah, yaitu anjuran mengakhirkan sahur.
Syari’at memberikan batasan seseorang untuk
makan sahur sampai adzan kedua atau adzan Subuh dan syari’at
menganjurkan untuk mengakhirkan sahur. Adapun imsak melarang manusia
dari apa yang diperbolehkan syari’at dan memalingkan manusia dari
menghidupkan sunnah untuk mengakhirkan sahur.
Maka
lihatlah wahai saudaraku keadaan kaum muslimin pada zaman sekarang,
mereka membalik sunnah dan menyelisihi petunjuk Nabi. Mereka dianjurkan
untuk bersegera dalam berbuka tetapi malah mengakhirkannya, dianjurkan
untuk mengakhirkan sahur tetapi malang menyegerakannya. Oleh karenannya,
mereka tertimpa petaka, kefakiran dan kerendahan di hadapan musuh-musuh
mereka. (6)
Kami memahami bahwa maksud dari para pencetus
insam adalah sebagai bentuk kehati-hatian agar jangan sampai masuk
waktu subuh dalam kondisi masih makan atau minum. Akan tetapi karena ini
adalah perkara ibadah, maka untuk pengamalannya harus berdasarkan dalil
yang shahih. Jika kita hidup di zaman Nabi, apakah kita berani
membuat-buat waktu imsak, melarang Rasulullah makan sahur, jauh-jauh
sebelum waktu Subuh tiba?!(7)
3. Membangunkan Dengan Kentongan Atau Pengeras Suara
Biasanya
di sebagian kampong dan desa ada sekelompok anak muda atau juga orang
tua menabuh kentongan sekitar 2-3 jam sebelum subuh untuk membangunkan
warganya agar segera sahur, seraya mengatakan :’Sahur!! Sahur!! Sahur!!’
Bahkan ada sebagian yang menggunakan mikrofon masjid untuk melakukan
panggilan ini.
Tidak ragu lagi bahwa ini adalah suatu
kebiasaan yang dianggap ibadah, padahal tidak ada ajarannya dalam agama.
Sekiranya hal itu baik tentu akan diajarkan oleh agama. Terlebih lagi
kebiasaan tersebut dapat mengganggu kenyamanan tidur warga sekitar di
malam hari, padahal Alloh berfirman (artiny):
“Dan
orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa
kesalahan yang mereka perbuat. Maka sesungguhnya mereka telah memikul
kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab :58) (8).
Syaikh Abdul Qodir al-Jailani berkata :”Apa
yang dilakukan oleh sebagian orang jahil pada zaman sekarang di negeri
kita berupa membangunkan orang puasa dengan kentongan merupakan
kebid’ahan dan kemungkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh
orang-orang yang berilmu.” (9)
4. Memperingati Nuzulul Qur’an
Kebiasaan
lain yang dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin pada tanggal 17
Ramadhan ialah mengadakan peringatan yang disebut dengan perayaan
Nuzulul Qur’an sebagai bentuk pengagungan kepada kitab suci al-Qur’an.
Namun ritual ini perlu disorot dari dua segi :
Pertama: Dari segi sejarah,
adakah bukti autentik baik berupa dalil ataupun fakta sejarah yang
menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut? Inilah
pertanyaan yang kami lontarkan kepada saudara-saudaraku semua.(10)
Kedua: Anggaplah memang
terbukti bahwa al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut, maka untuk
menjadikannya sebagai perayaan yang syar’I diperlukan dalil dan contoh
dari Nabi. Bukankah, orang yang paling gembira dengan turunnya al-Qur’an
adalah Rosulullah dan para sahabatnya?! Namun sekalipun demikian, tidak
pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini. Dari
sini menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam,
tetapi merupakan kebid’ahan dalam agama.
Ketahuilah wahai saudaraku bahwa perayaan tahunan dalam Islam hanya ada dua macam :’Idul Fithri (11) dan ‘Idul Adha.
Sebagaimana hadits Nabi shalallahu’alaihi wassalam:
“Dari
Anas bin Malik berkata: Tatkala Nabi datang ke kota Madinah, penduduk
Madinah memiliki dua hari untuk bersenang-senang sebagaimana di waktu
jahiliyah, lalu beliau bersabda:’Saya datang kepada kalian dan kalian
memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang sebagaimana sewaktu
jahiliyah. Dan sesungguhnya Alloh telah mengganti keduannya dengan yang
lebih baik:Idul Adhha dan Idul Fithri’”.(12)
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak
menginginkan umatnya membuat-buat perayaan baru yang tidak
disyari’atkan dalam Islam. Alangkah bagusnya ucapan al-Hafidz Ibnu Rojab
rahimahulla : “Sesungguhnya perayaan tidaklah diadakan berdasarkan
logika dan akal sebagaimana dilakukan oleh Ahli Kitab sebelum kita,
tetapi berdasarkan syari’at dan dalil.” (13) Beliau juga berkata :
“Tidak disyari’atkan bagi kaum muslimin untuk membuat perayaan kecuali
perayaan yang diizinkan syari’at, yaitu:’Idul Fithri, ‘Idul Adhha,
hari-hari Tasyriq, ini perayaan tahunan, dan hari jum’at, ini perayaan
pekanan. Selain itu, menjadikannya sebagai perayaan adalah bid’ah dan
tidak ada asalnya dalam syari’at.” (14)
5. Komando Di Antara Rakaat Shalat Tarawih
Berdzikir
dan mendoakan para Khulafaur Rosyidin di antara dua salam shalat
Tarawih dengan cara berjama’ah di pimpin oleh satu orang dengan
mengucapkan :
“Ashshalaatu sunnatattaraawiih rahimakumullah”
Tidak
pernah dinukil dari al-Qur’an dan dalam Sunnah tentang dzikir ini.
Kalau tidak pernah kenapa kita tidak mencukupkan diri dengan apa yang
dibawa Nabi dan para sahabatnya? Oleh karenanya maka hendaknya bagi
setiap muslim untuk menjauhi hal ini, karena hal ini termasuk kebid’ahan
dalam agama yang hanya dianggap baik oleh logika.
Jangan ada yang mengatakan bahwa hal itu
boleh-boleh saja karena berisi sholawat dan doa kepada para sahabat yang
merupakan amalan baik dengan kesepakatan ulama, itu memang benar tetapi
masalahnya manusia menganggapnya sbagai syiar shalat tarawih, padahal
itu merupakan tipu daya iblis kepada mereka.
Bagaimana
mereka menganggap baik sesuatu yang tidak ada ajarannya dalam agama,
padahal hal itu diingkari secara keras oleh Imam Syafi’I rahimahullah
tatkala berkata:
“Barangsiapa yang istihsan maka ia telah membuat syariat.”(15)
Asy-Syaukani
rahimahullah berkata:” Maksud istihsan adalah ia menetapkan suatu
syariat yang tidak syar’i dari pribadi sendiri.” (16) Jadi, ritual ini
termasuk kebid’ahan yang harus di waspadai dan di tinggalkan.(17)
6. Tadarrus Al-Qur’an Berjamaah Dengan Pengeras Suara
Pada
dasarnya kita dianjurkan untuk banyak membaca al-Qur’an di bulan ini.
Namun ritual Tadarrus al-Qur’an berjamaah yang biasa dilakukan oleh
kaum muslimin di masjid dengan mengeraskan suara adalah suatu hal yang
perlu diluruskan.
Membaca al-Qur’an termasuk ibadah mulia yang
diharapkan dengannya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya serta
dilakukan sesuai tuntunan Nabi, yaitu dengan suara pelan dan merendahkan
diri karena itu lebih menjauhkan seseorang dari riya dan mendekatkan
seseorang kepada Robbnya. Alloh berfirman (artinya):
“Berdoalah
kepada Tuhanmu dengan merendahkan diri dan suara yang lembut.
Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS.Al-A’rof: 55)
Rasulullah pernah menegur sebagian sahabat yang berdoa atau berdzikir dengan suara keras dengan perkataan beliau:
“Wahai
manusia, kasihanilah dirimu! Sesungguhnya kalian tidaklah berdoa kepada
Dzat yang tuli dan tidak ada, sesungguhnya ia bersama kalian dan
sesungguhnya Alloh Maha Mendengar dan Maha Dekat, Maha Suci Nama-Nya dan
Maha Tinggi Kemuliaan-Nya.” (HR.al-Bukhari:2292 dan HR. Muslim:2704)
Terlebih
lagi apabila ibadah mulia ini dilakukan dengan cara campur-baurnya
antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom Wallahul muwaffiq.(18)
7. Mengkhususkan Ziarah Kubur
Pada
bulan Ramadhan dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke
kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat
istimewa dalam ziarah kubur. Namun, adakah dalam Islam ketentuan waktu
khusus untuk ziarah kubur?!
Islam tidak mengkhususkan waktu-waktu
tertentu untuk melakukan ziarah kubur. Para ahli fiqih dari kalangan
Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak ziarah
kubur kapan pun waktunya.(19) Ulama-ulama dari kalangan Malikiyyah
mengatakan :” Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus.” (20) Hal
ini juga dikuatkan dengan keumuman dalil-dalil tentang perintah ziarah
kubur dan tidak ada keterangan bahwa ziarah kubur terbatasi dengan
waktu tertentu, karena diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk
mengambil pelajaran, mengingat akhirat, melembutkan hati dan hal itu
dianjurkan untuk dilaksanakan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu
khusus.(21)
Jadi pada prinsipnya kita tidak boleh
mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk ziarah kubur, kapanpun hal itu
dilakukan hukumnya adalah boleh.
Demikianlah beberapa bid’ah yang masyhur dan
dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang dapat kami sampaikan. Kita
memohon kepada Alloh agar menyelamatkan kita semua darinya dan meberikan
hidayah kepada kaum muslimin yang masih melakukannya. Amiin.
Footnote:
1.
Pembahasan ini banyak mengambil manfaat dari buku “30 Tema Pilihan
Kultum Ramadhan” hlm. 166-173 oleh al Akh Abu Bakr Muhammad al-Atsari,
cet.Majelis Ilmu, dengan beberapa tambahan referensi penting lainnya.
2. Syarh Hadits Innamal A’mal bin Niyyat, hlm. 119 oleh Ibnu Taimiyyah.
3. Lihat Shifat Shaum Nabi hlm. 30 oleh Syaikh Salim al-Hilali dan Syaikh Ali Hasa.
4. Al-Ittiba’ hlm.62, tahqiq Muhammad Atho’ullah Hanif dan Dr.Ashim al-Qoryuthi.
5.
Lihat secara luas AL-Amru bil Ittiba’ hlm. As-Suyuti hlm.295,Majmu’ah
Rosail Kubra 1/254-257, Zadul Ma’ad 1/51, Al-Qoulul Mubin fii Akhtoil
Mushollin hlm.91-98 oleh Syaikh Masyhur Hasan, tulisan “Hukum
Melafadzkan Niat” oleh al-Ustadz Abu Ibrahim dalam Majalah AlFurqan
edisi 9,hlm.37-42, tahun ketujuh.
6. Shofwatul Bayan fii Ahkamil Adzan wal Iqomah hlm.116 oleh Abdul Qodir al-Jazairi.
7.
Lihat Fathul Bari 4/109-110 oleh Ibnu Hajar, Islahul Masajid hlm.
118-119 oleh al-Qosimi, Tamamul Minnah hlm. 417-418 oleh al-Albani,
Taisir Alam 1/496 oleh Abdullah al-Bassam, Mukholat Ramadhan hlm.22-23
oleh Abdul Aziz As-Sadhan.
8. Lihat Kullu Bid’atin Dholalah oleh Muhammad al-Muntashir hlm.194.
9. Shofwatul Bayan fii Ahkamil Iqomah wal Adzan hlm.115-116, muroja’ah Syaikh al-Albani dan Syaikh Mansyur bin Hasan.
10.
Penulis pernah menanyakan kepada Syaikh Abdurrahman ad-Dahsy (Dosen
Ilmu Tafsir di Universitas Qoshim KSA) beliau menjawab bahwa penetapan
turunnya al-Qur’an pada tanggal tersebut tidan ada dalilnya atau bukti
sejarah yang falid.
11. Faedah: Banyak orang
Indonesia menerjemahkan Idul Fithri dengan “kembali suci”. Terjemahan
ini salah kaprah ditinjau dari segi bahasa dan syara’, sebagaimana
dijelaskan oleh Ustadzuna Abdul Hakim Abdat dalam Majalah as-Sunnah
05/Th.1 hlm.34-35 dan Ustadzuna Abu Nu’aim dalam majalah al-Furqan
03/Th.1 hlm 12-13. Semoga Alloh membalas kebaikan bagi keduanya.
12. HR. Ahmad:03/103, HR. Abu Dawud:1134 dan HR. an-Nasai:3/179.
13. Fathul Bari:1/159, Tafsir Ibnu Rojab :1/390
14. Lathoiful Ma’arif hlm.228
15.
Ucapan ini popular dari Imam Syafi’i sebagaimana dinukil oleh para imam
madzhab Syafi’i seperti al-Ghozali dalam al-Mankhul hlm.374
danal-Mahalli dalam Jam’ul Jawami’:2/395 dan lain sebagainya. (Lihat
Ilmu Ushul Bida’ hlm.121 oleh Syaikh Ali Hasan)
16. Irsyadul Fuhul hlm.240
17.
Lihat Al-Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ hlm.265-286 oleh Syaikh Ali
Mahfudh,Al-Burhanul Mubin fi Tashoddi lil Bida’ wal Abathil 1/524,
Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’ oleh as-Suyuthi hlm.192,
ta’liq Syaikh Masyhur Hasan, Mu’jamul Bida’ hlm.98-99 oleh Raid Shobri.
18.
Lihat pula al-Ibda’ fii Madhoril Ibtida’ hlm.183 oleh Syaikh Ali
Mahfudh, Al-Bid’ah hlm.31 oleh Syaltut, Mu’jamul Bida’ hlm.53 oleh Raid
Shabri, Tshihu Du’a oleh Bakr Abu Zaid hlm.270
19. Ahkam al-Maqobir hal.302
20. Mukhtashor al-Khalil Ala Mawahib al-Jalil:2/237
21. Ahkam al-Maqobir hlm.302. Lihat pula risalah kami “Agar Ziarah Membawa Berkah” hlm.17 cet. Media Tarbiyah Bogor.
Dinukil dari Majalah Al-Furqan
0 Komentar untuk "Bid'ah - Bid'ah Di Bulan Ramadhan"