Oleh: Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi
Sungguh, kaum muslimin sangat resah ketika mereka harus mengawali ibadah puasa Ramadhon atau berhari raya
 di hari yang berbeda dengan saudaranya. Terlebih bulan Ramadhan dan 
Syawal adalah saat yang tepat bagi kaum muslimin untuk menyatukan hati. 
Shalat tarawih berjama’ah,zakat fitrah, halaqoh-halaqoh kajian, shlat Idul Fitri di lapangan akan semakin bermakna jika dikerjakan secara bersamaan.
Perbedaan penentuan tanggal satu hijriah 
adalah polemic yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Sekalipun sudah 
banyak tokoh mencoba menghibur kaum muslmin bahwa perbedaan itu 
merupakan rahmat (1), namun kenyataannya di lapangan timbul kepiluan missal yang mengarah kepada perpecahan (2).
Bila kita telusuri, ternyata salah satu 
sumbernya adalah perbedaan cara penentuan awal bulan di kalangan 
ormas-ormas Islam. Sebagian berdasar ru’yah (melihat hilal) dan sebagian
 lagi bersandarkan hisab (ilmu hitung posisi bulan).
Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini,
 kami akan membahas masalah ini secara ringkas sebagai sumbangsih yang 
bersahaja (3). Untuk lebih detailnya, silahkan merujuk kitab-kitab yang 
kami isyaratkan. Semoga Alloh melapangkan hati kita semua untuk menerima
 kebenaran dan meninggalkan kesombongan dan fanatik gologan yang itu 
merupakan penyakit jahiliyah. Amiin.
DEFINISI RU’YAH DAN HISAB
Ru’yah
 adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakkan bulan 
sabit yang nampak pertama kali ketika terjadi  ijtima’ (bulan baru). 
Ru’yah dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat Bantu optic
 seperti teleskop (4). Apabila hilal terlihat, maka sejak petang hari 
waktu setempat, tempat tersebut telah memasuki bulan baru hijriyah.
Sedangkan hisab adalah perhitungan secara 
matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam dimulainya 
awal bulan hijriyah.(5).
CARA ISLAM MENENTUKAN AWAL BULAN
Tatkala
 Alloh mensyariatkan kepada para hamba-Nya untuk melakukan ibadah puasa 
dan hari raya, maka sudah pasti Alloh juga menjelaskan cara menentukan 
waktunya juga. Melalui lisan Rasul-Nya, Alloh menjelaskan hal ini secara
 gambling. Nabi  bersabda:
“Apabila
 kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya 
maka berhari rayalah. Dan apabila kalian terhalang maka sempurnakanlah 
tiga puluh hari. (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081).
Hadits
 ini dan haits-hadits semisalnya yang banyak menunjukkan bahwa syariat 
Islam hanya menggunakan dua cara dalam mengetahui masuk dan berakhirnya 
bulan Romadhan yaitu ru’yah (melihat hilal) atau ikmal (menyempurnakan 
30 hari apabila tidak kelihatan bulan sabit). Cara ini lebih mudah dan 
lebih meyakinkan.
BOLEHKAH PENENTUAN PUASA DAN HARI RAYA DENGAN HISAB ?
Bila
 kita mencermati dalil-dalil tentang masalah ini, niscaya kita akan 
dapati bahwa penentuan awal dan akhir bulan Romadhan dengan ilmu hisab 
adalah pendapat yang lemah dan tidak dibangun di atas kekuatan dalil. 
Berikut sebagian dalil tentang tidak bolehnya penggunaan hisab :
1. Dalil Al-Qur’an
“Barangsiapa diantara kamu hadir (melihat) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah :185)
Makna syahadah dalam ayat ini adalah melihat. (6)
2. Dalil Hadits
Hadits-hadits
 Nabi yang memerintahkan melihat hilal atau menyempurnakan banyak sekali
 (7). Beliau tidak pernah menganjurkan menetapkannya dengan ilmu hisab.
“Apabila
 kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya 
maka berhari rayalah, dan apabila kalian terhalang maka takdirkanlah.” 
(HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081).
3. Dalil Ijma
Ijma
 tentang tidak bolehnya penggunaan hisab dalam penentuan ini telah 
dinukil oleh sejumlah ulama seperti al-Jashosh dalam Ahkamul Qur’an 
1/280, al-Baji dalam al-Muntaqo Syarh Muwatho’ 2/38, Ibnu Rusyd dalam 
Bidayatul Mujtahid 1/283-284, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu 
Fatawa 25/132-207,as-Subuki dalam al-Ilmu al-Mantsur hlm. 6, Ibnu Abidin
 dalam Hasyiyahnya 2/387 dan lain sebagainya. (8)
4. Dalil Akal
Penentuan
 awal puasa dengan ru’yah sesuai dengan pokok-pokok syariat Islam yang 
dibangun di atas kemudahan. Ru’yah bisa dilakukan oleh semua manusia. 
Cara ini dapat mempersatukan umat, berbeda dengan ilmu hisab yang 
masing-masing akan mempertahankan pendapat dan penelitiannya 
sendiri-sendiri. (9)
5. Mengurai Beberapa Syubhat
Sebagian
 kalangan berpendapat bahwa penentuan awal dan akhir Romadhon boleh 
ditentukan dengan ilmu hisab. Mereka membawakan beberapa argument yang bila diteliti ternyata argument tersebut lemah (10). Berikut penjelasan secara ringkas :
- Dalil al-Qur’an 
 Mereka berdalil dengan ayat berikut (artinya):
 “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Alloh tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus :5).
 Jawab :
 
 
 
 - Adakah konteks ayat tersebut yang menunjukkan ketentuan masuknya bulan puasa dan hari raya dengan ilmu hisab? Apakah Nabi dan para sahabatnya memahami ayat di atas dengan pemahaman tersebut, lantas, kenapa mereka tidak menerapkannya?!Ataukah ini cara untuk mencari-cari dalil untuk mendukung suatu pendapat yang menyimpang?!.
- Ayat diatas hanyalah menjelaskan tentang fungsi manzilah-manzilah bulan dalam mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
 
- Dalil Hadits
 Meraka berdalil dengan hadits :
 “Apabila kalian melihat hilal maka berpuasalah dan apabila kalian melihatnya maka berhari rayalah, dan apabila terhalang oleh kalian maka takdirkanlah.” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081)
 Mereka mengartikan (takdirkanlah) dengan ilmu hisab.
 Jawab :
 
 
 
 - Makna hadits di atas ini telah ditafsirkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits lainnya dengan lafazh menyempurnakan. Tentu saja, penafsiran Rasulullah harus di dahulukan karena hadits itu saling menjelaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan inilah yang dipahami oleh para ulama ahli hadits dan fiqih bahwa makna hadits tersebut adalah “sempurnakanlah” bukan “perkirakanlah”.
- Dalam riwayat al-Hakim dalam al-Mustadrok 1/423 dan al-Baihaqi dalam Sunan Kibro 4/204 dengan sanad shahih, Rasulullah menggabung penafsiran tersebut dengan “sempurnakanlah”. Lalu adakah yang lebih jelas lagi dari penafsiran Rasulullah ?!
 
- Dalil Ucapan Ulama
 Mereka mengatakan bahwa penggunaan hisab telah diperbolehkan oleh ulama-ulama sejak dahulu seperti Muthorrif bin Abdillah, Ibnu Qutaibah dll.
 Jawab:
 
 
 
 - Ucapan dan pendapat tersebut tidak shohih penisbatannya sampai kepada mereka.
- Anggaplah shohih, tetap ucapan ulama bukanlah dalil bila bertentangan dengan nash yang jelas.
- Maksud ucapan mereka adalah khusus ketika cuaca tanggal 30 Sya’ban/Romadhon mendung, bukan jauh-jauh hari telah ditetapkan bahwa hari awal puasa atau hari raya akan jatuh pada hari ini atau itu, sebagaimana dilakukan oleh sebagian organisasi yang menggunakan hisab.
 
- Dalil Qiyas
 Menggunakan qiya (analogi) waktu puasa dengan waktu shalat. Sebagaimana boleh menggunakan hisab untuk waktu shalat demikian juga boleh untuk puasa.
 Jawab :
 
 
 
 - Ini adalah qiyas batil, karena bertentangan dengan nash/dalil yang jelas. Perlu diingat bahwa qiyas harus terpenuhi syarat-syaratnya, apakah hal itu telah terpenuhi pada masalah ini?
- Dalam sholatpun apabila jadwal sholat bertentangan dengan waktu sholat yang benar, maka yang menjadi patokan adalah waktu sholat yang benar, jadwal sholat yang salah tidak boleh digunakan.
- Alloh membedakan antara cara menentukan waktu sholat dan puasa. Alloh menjadikan tergelincirnya matahari merupakan sebab wajibnya shalat Dzuhur, demikian juga waktu-waktu sholat lainnya. Barangsiapa yang mengetahui sebab tersebut dengan cara apapun, maka dia terkait dengan hukumnya. Oleh karena itu, maka hisab yang yakin bisa dijadikan pegangan dalam waktu shalat. Adapun dalam puasa, Islam tidak menggantungkannya dengan hisab, tetapi dengan salah satu di antara dua perkara: pertama, melihat hilal; kedua, menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari apabila tidak terlihat hilal. Untuk bisa menentukan tanggal dua puluh sembilan Sya’ban, kita harus melihat hilal tanggal satu Sya’ban. Wallahua’lam (11).
 
- Dalil Akal
 Mereka mengatakan bahwa Islam mendukung perkembangan modern, dan dengan hisab akan terwujud persatuaan kaum muslimin dalam puasa dan hari raya.
 Jawab :
 
 
 
 - Benar, Islam mendukung perkembangan modern, tetapi bukan berarti dengan melanggar rambu-rambu syariat.
- Persatuan dengan hisab menyelisihi fakta, bahkan inilah salah satu factor utama perbedaan yang ada. Bukankah sesame ahli hisab juga kadang berbeda?! Seandainya ormas-ormas Islam mau bersepakat bersama pemerintah dalam puasa dan hari raya niscaya perbedaan itu bisa diminimalkan. Apalagi dalam hal ini pemerintah memilikh Ru’yah yang disepakati bersama bolehnya dan kebenarannya! Kenapa dalam hal ini kita tidak bersama pemerintah dan meninggalkan pendapat kita untuk kemaslahatan persatuan bersama?! Ataukah ini adalah kesombongan dan fanatik golongan yang membutakan pandangan?!
 
HISAB BUKANLAH SESUATU YANG YAKIN
Sebagian
 orang menyangka bahwa alat-alat modern untuk ilmu hisab sekarang bisa 
dikatakan pasti dan yakin. Namun pada kenyataannya di lapangan, ternyata
 itu hanyalah prasangka belaka (12). Berikut beberapa buktinya :
- Banyak fakta dilapangan membuktikan terjadinya kesalahan dalam perhitungan ilmu hisab. Di beritakan di media bahwa ahli hisab mengatakan tidak mungkin terlihat bulan, tetapi ternyata bulan dapat dilihat dengan jelas oleh beberapa saksi yang terpercaya. (13)
- Adanya perbedaan kalender antara sesame ahli hisab sendiri dalam satu Negara.
- Ilmu hisab di bangun di atas alat-alat modern yang seperti dalam halnya alat-alat lainnya terkadang terjadi kesalahan, baik penggunanya merasakan atau tidak. (14)
HISAB BERTENTANGAN DENGAN SYARI’AT
Tatkala hisab keluar dari jalur syari’at maka menimbulkan beberapa hal yang bertentangan dengan syari’at, di antaranya :
- Ada perbedaan dalam penetapan bulan antara cara perhitungan syari’at dan ilmu hisab. Bilangan bulan dalam pandangan syari’at mungkin 29 hari atau 30 hari, sedangkan dalam pandangan ilmu hisab satu bulan itu 29 hari, 12 jam di tambah 44 detik.
- Dalam pandangan syari’at bahwa saat awan tertutup maka disempurnakan 30 hari, sedankan dalam ilmu hisab mungkin ditetapkan 29 hari.
- Dalam pandangan ilmu hisab, awal bulan dimulai sejak hilangnya matahari sore itu, sedangkan dalam pandangan syari’at awal bulan dimulai dengan terlihatnya hilal.
- Dalam pandangan syari’at, awal bulan dapat diketahui dengan panca indera mata dan secara tabi’at, tidak menyesatkan seorang dari agamanya, tidak menyibukkannya dari kemaslahatan, serta semua kaum muslimin dapat ikut serta di dalamnya. Aadapun dalam ilmu hisab, semua kebaikan tersebut tidak ada. (15)
Sebagai kalimat penutup,  cukuplah sebagai 
bukti tidak bolehnya penggunaan hisab dalam hal ini adalah kesalahan 
dalam ilmu hisab tidak dimaafkan, berbeda halnya dengan kesalahan dalam 
ru’yah, hal itu dimaafkan. Bahkan sekalipun mereka salah, mereka 
mendapatkan pahala karena mereka mengikuti perintah syari’at yaitu  
menggunakan ru’yah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh as-Suyuthi: 
“Ketahuilah bahwa termasuk kaidah fiqih adalah bahwa lupa dan bodoh 
menggugurkan dosa…Adapun apabila kesalahan dikarenakan ilmu hisab maka 
hal itu tidak dianggap karena mereka meremehkannya.” (16)
SEBUAH HIMBAUAN
Tulisan
 ini sengaja kami paparkan untuk mengajak seluruh umat Islam untuk 
kembali pada pedoman dasar beragama kita, sebagaimana firman Alloh 
(artinya):
“Hai orang-orang beriman, taatilah 
Alloh dan taatilah Rosul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian 
jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia 
kepada Alloh (al-Qur’an) dan Rosul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar 
beriman kepada Alloh dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama 
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’:59)
Tinggalkan segala fanatik golongan karena 
akan menjauhkan kita dari menerima kebenaran. Munculkan dalam hati kita 
rasa ingin mencari kebenaran meskipun harus bertentangan dengan sesuatu 
yang selama ini kita yakini (17), karena tidak ada yang ma’shum kecuali 
para Nabi dan Rosul. Semua orang bisa menolak dan ditolak pendapatnya 
kecuali Rosulullah. (18)
Hendaknya kita 
selalu bertakwa kepada Alloh dan ingat bahwa masalah ini bukan masalah 
pribadi dan golongan tetapi masalah syi’ar Islam yang membutuhkan 
persatuan dan kebersamaan.  Semoga semua itu segera terwujudkan. Amiin
Catatan kaki :
1.
 Namun hadits “Perbedaan umatku adalah rohmat” adalah hadits yang tidak 
ada asalnya dari Nabi. Lihat kembali tulisan kami “Perbedaan adalah 
Rohmat?” dalam majalah al-Furqan edisi 9/Th.8, hlm.12-14.
2. Lihat buku Pilih Hisab atau Ru’yah? Hlm. 11-12 oleh akhuna al-Ustadz Abu Yusuf al-Atsari.
3.
 Masalah ini kami cantumkan dalam fiqih kontemporer padahal telah 
dibahas oleh ulama sejak dahulu karena dua sebab : Pertama, Sebagian 
ulama masa kini berpendapat bahwa kemajuan teknologi ilmu falak sekarang
 seharusnya menutup perselisihan pendapat dalam masalah ini sebagaimana 
pendapat Syaikh Musthofa az-Zarqo. Kedua, Perhatian lembaga-lembaga 
fiqih tentang permasalahan ini. (Al-Fiqhul Mustajaddat fii Babil Ibadat 
hlm. 254-255 oleh Thohir Yusuf Ash-Shiddiq).
4.
 Majelis Ulama Saudi Arabia membolehkan penggunaan alat ini dalam rapat 
yang mereka gelar pada bulan Dzulqa’dah 1403H. (Lihat Fiqih Nawazil 
2/279 oleh al-Jizani).
5. Pilih Hisab atau Ru’yah? Hlm.29
6. Lihat al-Qomus al-Muhith oleh Fairuz Abadi hlm. 372 dan at-Tamhid Ibnu Abdil Barr 7/149.
7. Bahkan berderajat mutawatir sebagaimana dalam Nadhmul Mutanatsir oleh al-Kattani hlm.139.
8.
 Lihat pula Awail Syuhur Al-Arobiyyah hlm.4 oleh Syaikh Ahmad Syakir, 
Fiqhu Nawazil 2/200 karya Syaikh Bakr Abu Zaid, Ahkamul Ahillah hlm. 
111-112 oleh Ahmad al-Furoih.
9. Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqolat Syaikh Abdul Aziz bin Baz 15/112-113.
10.
 Lihat Manhaj Tarjih Muhammadiyah hlm. 218-225. Dan lihat bantahannya 
secara luas dalam Fiqih Nawazil 201-215 oleh Syaikh Bakr Abu Zaid, 
Ahkamul Ahillah hlm.128-143 oleh Ahmad al-Furoih, Pilih Ru’yah atau 
Hisab hlm.71-116 oleh Abu Yusuf al-Atsari.
11. Al-Furuq 2/323-324 oleh al-Qorrofi.
12.
 Sebagian ahli falak juga mengakui bahwa mustahil membuat kalender yang 
paten untuk tahun qamariyah karena bulan silih berganti antara tahun ke 
tahun berikutnya. (lihat ta’liq Ibrohim al-Hazimi terhadap risalah 
Ru’yatul Hilal wal Hisab al-Falaki hlm.43-44 oleh Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyyah.)
13.
 Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Fiqhu Nawazil 2/217 mencontohkan kasus hilal
 bulan syawal tahun 1406 H, dimana para ahli hisab  telah mengumumkan di
 media hasil penelitian mereka bahwa hilal syawal tidak mungkin bisa 
dilihat pada malam Sabtu 30 Romadhon, tetapi ternyata dapat dilihat oleh
 dua puluh saksi di berbagai penjuru Saudi Arabia. Kasus-kasus serupa 
juga banyak sebagaimana dalam buku  Ahkamul Ahillah hlm.144-145. Di 
Indonesia, organisasi Muhammadiyah terpaksa merubah penetapan tanggal 1 
syawal yang dari hari minggu tanggal 27 Maret 1991. Organisasi 
Muhammadiyah juga merevisi keputusan tanggal 1 Syawal yang semula jatuh 
pada hari Sabtu menjadi hari Ahad tahun 1992. Kasus yang sama terulang 
lagi pada tahun 1994, sekalipun kasus terakhir ini tidak terjadi dalam 
lingkungan Muhammadiyah (Majalah Qiblati Vol.02/No.01/10-2006M/09-1427H)
14. Lihat Fiqhu Nawazil Syaikh Bakr Abu Zaid 2/216-218 dan Ahkamul Ahillah hlm. 144-145 oleh Ahmad al-Furoih.
15. Fiqhu Nawazil Syaikh Bakr Abu Zaid 2/219-221 dan Ahkamul Ahillah karya Ahmad al_Furoih hlm.147
16. Al-Asybah wa Nadhoir hlm.1989-19990
17.
 Dan diantara pokok-pokok manhaj Majlis Tarjih Muhammadiyah adalah  
berprinsip terbuka dan toleran, tidak beranggapan hanya Majlis Tarjih 
yang paling benar…Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang 
dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, 
Majlis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan. 
(Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metodologi dan Aplikasi hlm. 13 oleh Prof. 
Drs. H. Asjmuni Abdurrahman)
18.
 Antara Ru’yah dan Hisab Dalam Penentuan Awal dan Akhir Ramadhon oleh 
akhua al-Ustadz Ahmad Sabiq dalam majalah Al-Furqon edisi 2/Tahun IV.

0 Komentar untuk "Berdasar Hisab Ataukah Ru'yah ??"